Jumat, 17 Juni 2011

Sistem Pers di Indonesia

Sistem Pers Media Penyiaran Televisi Di Indonesia
                                              Oleh Siti Umi Umaroh        

Pers merupakan bagian (subsistem) dari sistem yang lebih besar, yaitu sistem komunikasi. Sedangkan sistem komunikasi adalah sistem yang berbeda dengan sistem lainnya. Yang mempunyai fungsi komunikasi. Pada dasarnya pers adalah sebuah produk kebudayaan barat. Peran pers sendiri selalu dikaitkan dengan masyarakat lingkungannya. Maka dalam hal ini wajar apabila pers di Negara berkembang itu mempunyai peran yang berbeda dengan peran di Negara maju.
Pers di Negara berkembang masih harus berhadapan dengan bagian yang cukup besar dari masyarakat yang “miskin informasi” dan belum termotivasi untuk menjadikan informasi sebagai kebutuhan pokok dalam skala prioritas kebutuhan mereka khususnya di Negara Indonesia. Untuk itu peran pers di Indonesia sebagai sarana penghibur yang mengambil tempat cukup penting. Peranan pers lebih menunjukan pada peran yang “membangun” untuk memberikan informasi, mendidik, dan menggerakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Pers dan Negara Berkembang
Pers di Indonesia telah mengalami metamorphosis. Di masa pemerintah Bung Karno, kita pernah condong ke negara-negara warsawa, seperti Polandia dan Rusia yang menganut paham teori aothoritaria. Lalu dimasa Soeharto, menganut paham teori media pembangunan yang lebih condong kepada model aothoritaria pula. Konsep ideologinya, media harus mampu dan wajib mendukung keberhasilan rezim dalam upaya menghimpun kekuasaan politik untuk pengembangan ekonomi, social dan budaya. Kemudian pada masa peemerintahan sesudahnya yakni pemerintah Habidie, Gus Dur dan Megawati pers Indonesia yang telah mengalami kondisi trauma terhadap model authoritarian dengan serta-merta menganut paham libertarian ekstrim.
Dalam hubungan pers dan pemerintah lebih mengarah pada paham “pers yang bertanggung jawab sosial”. Oleh karena itu hubungan pers dan pemerintah lebih mendekatkan pada konsep partnership daripada adversary (pers lawan pemerintah). Idonesia merupakan negara berkembang. Dan dalam negara berkembang terdapat karakteristik negara- negara berkembang dapat disebutkan :
a.             Sistem pemerintahannya pada umumnya masih mengikuti sistem pemerintahan Negara bekas penjajahnya dengan beberapa penyusaian. Dengan demikian system persnya tidak lain juga merupakan pengalihan dari system pers Negara bekas penjajahnya.
b.            Negara – Negara berkembang berada dalam keadaan transisi, tidak stabil, dalam taraf menemukan identitasnya. Dengan demikian maka pola hubungan pers dan pemerintah tidak terlepas dari keadaan demikian itu.
c.             Negara-negara berkembang, pada umumnya terlibat dalam proses kegiatan pembangunan. Maka pers dalam hubungan ini dituntut untuk terlibat dalam proses kegiatan pembangunan seperti agen of change.
Sedangkan ciri-ciri khusus sistem pers di negara-negara berkembang dapat di sebutkan sebagai berikut :
1.               System persnya cenderung mengikuti system pers Negara penjajahnya.
2.               Pers di Negara berkembang sampai saat ini berada dalam bentuk transisi.
3.               Negara berkembang pada umumnya sedang membangun.
4.               Secara umum kebebasan pers di Negara berkembang diakui ada, tetapi dalam pelaksanaanya terdapat pembatasan-pembatasan.
5.               Pada umumnya pers di Negara berkembang mengalami masalah yang sama dibidang komunikasi yaitu : ketimpangan informasi, monopoli, dan pemusatan yang berlebihan dari sumber dan jalur komunikasi.
6.               Sistem dan pola hubungan antara pers dan pemerinth mempunyai tendensi perpaduan antara system-sistem.
Sistem Pers : Media Penyiaran
Sebelum membahas mengenai sistem penyiaran ada baiknya kita memahami beberapa istilah yang terkait dengan organisasi penyiaran sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang penyiaran yang berlaku saat ini, yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Undang-Undang penyiaran di indonesia membagi jenis stasiun penyiaran kedalam empat jenis, yaitu: a). stasiun penyiaran swasta b). stasiun penyiaran berlangganan c). stasiun penyiaran publik, dan d). stasiun penyiaran komunitas.
Ada tiga pilar untuk lebih jelas dalam memahami sistem pers media penyiaran. Untuk memperjelas kajian mengenai tiga pilar sistem penyiaran akan diuraikan terlebih dahulu relasinya dengan teori pers. Yaitu:
1. Authoritarian Theory
Berciri media sebagai alat propoganda pemerintah, fungsi pers menjustifikasi kebenaran pendapat pemerintah terhadap berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Pers boleh mengeluarkan kritik sejauh tidak bertentangan dengan status quo rezim berkuasa.
2. Libertarian Theory
Teori ini sebagai antitesis dari Authoritarian Theory, memiliki ciri bahwa pers bukanlah alat pemerintah dan bisa dimiliki dan dioperasikan oleh siapapun. Akan tetapi, hukum industrial membuat kepemilikan media hanya terpusat pada pemodal besar yaitu kepentingan pemodal mengakumulasikan keuntungan.
3. Communist Theory
Merupakan varian atau kelanjutan dari Authoritarian Theory, menurut teori ini media bersifat integral dengan partai politik atau pemerintah tidak diperkenankan adanya kepemilikan media secara pribadi. Media menyebarkan pandangan, terutama bersumber dari ucapan pejabat negara.
4. Social Responsibility Theory
Merupakan pengembangan sekaligus kritikan terhadap Libertarian Theory. Pers harus dibebaskan dari intervensi pemerintah, namun sensibilitas berdampak buruk pers liberal; yaitu kepemilikan media yang monopolistik sehingga potensi manipulasi informasi oleh kekuatan modal harus diantisipasi dengan regulasi. Prinsip penciptaan ruang publik menjadi dasar Social Responsibility Theory. Umtuk menjamin kepentingan umum, dimungkinkan adanya intervensi negara secara terbatas. Social Responsibility Theory, dikenal dengan badan independen yang akan memantau dan menilai fungsi Sosial pers.
Seluruh pembahasan teori pers diatas berakar pada sistem politik pada ekonomi yang dianut suatu negara. Dalam sejarah perkembangan pers, teori-teori tersebut dalam praktek  mengalami pergeseran dan bahkan percampuran aplikasi sehingga sulit mengidentifikasikan suatu negara menganut teori pers tertentu secara mutlak. Secara sederhana integrasi itu hanya dapat berlangsung ke dalam 2 arus besar, yaitu teori pers libertarian yang dilanjutkan dengan teori pers social responsibility dan teori pers authoritarian yang berkembang dengan teori pers komunis.
Kriteria sistem penyiaran yang demokratis dapat ditelusuri pada paradigma demokrasi, di mana sebuah sistem yang demokratis memiliki multi kekuatan politik yang berkompetisi dalam sebuah wadah institusi. Partisipan dalam kompetisi yang demokratis dapat memiliki kelebihan yang berbeda dalam sektor ekonomi, organisasi dan modal ideologi. Sistem penyiaran demokratis bercirikan perlindungan kepentingan publik, pluralitas dan kompetisi yang teratur antar sesama institusi penyiaran sehingga demokrasi sebagai sebuah pandangan hidup terdiri dari empirisme rasional, pementingan individu, teori instrumental tentang negara, prinsip kesukarelaan, hukum dibalik hukum, penekanan pada soal cara, musyawarah dan mufakat dalam hubungan antar manusia, persamaan asasi semua manusia.
Sistem pers dan penyiaran yang fungsional bagi proses demokratisasi adalah yang mampu menciptakan public sphere, ruang yang terletak antara komunitas ekonomi dan negara di mana publik melakukan diskusi yang rasional, membentuk opini mereka serta menjalankan pengawas terhadap pemerintah. Pers dan pemerintah tidak boleh menjalin kemitraan yang melembaga dan mereka memiliki fungsi berbeda untuk menghormati peran masing-masing. Oleh karena itu, sistem penyiaran diharuskan bebas dari belenggu pemerintah karena Ia menggunakan frekuensi.
Sistem Pers : Media Televisi
Severin  mengatakan bahwa teori tanggungjawab social yaitu setiap orang yang memiliki sesuatu yang penting untuk dikemukakan harus diberikan hak dalam forum, dan jika media dianggap tidak memenuhi kewajibannya, maka ada pihak yang harus memaksanya. Model pers ini dialami Indonesia setelah masa Orde Baru usai, yaitu pada masa Reformasi. Pers Indonesia bebas menggunakan haknya untuk meliput berita, akan tetapi ia juga dituntut untuk dapat mempertanggungjawabkan berita yang disampaikan.
Dalam hal ini masing-masing media juga kini harus berebut sponsor iklan agar bisa melangsungkan jalannya media tersebut. Oleh karena itu, biasanya kaum pengiklan punya ikut campur dalam urusan isi berita. Hal ini tentunya juga demi keuntungan yang diinginkan pihak pengiklan tersebut. Sedangkan dari sisi kepemilikan media adalah Aburizal Bakrie dan Surya Paloh yang kebetulan keduanya memiliki stasiun televisi yang tayangan utamanya berbasis pada berita. Otomatis, masing-masing stasiun televisi tersebut digunakan untuk saling bersaing mempropagandakan keunggulan masing-masing demi suksesnya tujuan mereka.
Kegiatan penyiaran televisi di indonesia di mulai pada tanggal 24 Agustus 1962, bertepatan dengan dilangsungnya pembukaan pesta olahraga se-Asia waktu Asean Games di senayan. Sejak itu pula televisi Republik Indonesia (TVRI) di pergunakan sebagai stasiun sampai sekarang.
Siaran berita televisi pada masa Orde Baru ditujukan semata untuk kepentingan pemerintah, yaitu sebagai alat propaganda bagi kebijakan pemerintah dan sebagai situs bagi definisi rezim ini tentang kebudayaan nasional Indonesia. Televisi swasta dikontrol untuk tidak memproduksi siaran sendiri, akan tetapi merelay siaran berita TVRI dari Jakarta. TVRI sengaja menayangkan berita tentang pemerintahan pada malam hari untuk mengetahui reaksi pemerintah tentang berita yang ada pada media cetak pada pagi harinya. Kemudian mereka dapat menyaring berita yang baik untuk menjaring dukungan rakyat terhadap pemerintah.
Untuk saksi mata, berita pada TVRI selalu menghadirkan saksi mata dari pihak pemerintahan.
Sejak resmi diberlakukannya Undang-Undang No.32/2002 tentang Penyiaran di Indonesia, telah membuka peluang dan sekaligus tonggak penting bagi eksistensi televisi lokal, sekaligus membuka harapan akan munculnya sebuah iklim demokratis bagi munculnya media penyiaran di seluruh Indonesia. Rencana DPR untuk mengesahkan RUU (rancangan Undang-Undang) Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 (untuk mengganti UU No. 24 tahun 1997) pernah mendapat tanggapan yang beragam.meskipun kalangan praktisi penyiaran menolak UU Penyiaran, tetapi tidak sedikit kelompok masyarakat yang justru menerima. Beberapa di antara poin penting mengapa UU penyiaran itu perlu diterima antara lain:
1.       Karena sebuah program siar membutuhkan lembaga yang mengatur lalu lintas pesan yang disiarkan.
2.       Sebuah aturan penyiaran harus ada peraturan yang mengatur.karena kalau tidak diatur masyarakat tidak bias menikmati acara yang disesuaikan dengan kultur budaya di masyarakat.
3.       Sanksi yang diberikan oleh pemerintah atau KPI tidak berarti bawa di situ ada “pemberedelan” media.
4.       UU penyiaran sebenarnya akan menambahkan daya saing antartelevisi swasta di Indonesia.
5.       UU penyiaran akan mengurangi dampak buruk televise. Seperti kasus pornografi yang merajalela.
6.       Adanya UU penyiaran jangkauan siar dan regulasi kurang menguntungkan.
Pengakuan atas media penyiaran lokal dan komunitas yang tertuang di dalam Undang-Undang tersebut merupakan sejarah baru bagi dunia penyiaran di Indonesia. Harus diakui, bahwa media merupakan salah satu pilar kekuatan di negara ini, termasuk keberadaan televisi lokal yang menjadi salah satu unsur penegak pilar tersebut. Televisi Lokal yang hadir dengan semangat otonomi daerah sangat di rasakan dampak kehadirannya sebagai warna baru dunia penyiaran di Indonesia.
Kehadiran televisi lokal, menjadi solusi penting untuk menyuarakan kebutuhan bagi seluruh lapisan masyarakat di daerah yang dibungkus dalam program sosial, ekonomi, budaya, pariwisata, ekonomi dan unsur kedaerahan lain. Dibungkus dengan kemasan lokal yang kental, televisi lokal diharapkan dapat mempersembahkan yang terbaik bagi masyarakat sesuai dengan budaya ditempat masing-masing.
Dalam perkembangannya, keberadaan televisi lokal yang berkembang di Indonesia, tidak terlepas pula dari kepentingan bisnis dan (dalam sebagian motif) digunakan semata sebagai perpanjangan korporasi media yang ada di tingkat nasional, sehingga dengan demikian tujuan keberadaannya menjadi bias dan tidak mewakili kepentingan bagi masyarakat lokal.
Sistem pers media penyiaran televis lokal yang ada di Indonesia ternyata masih mengedepankan kepentingan diri sendiri atau pemilik stasiun dari pada masyarakat luar yang ikut menyuarakan pendapatnya untuk pemerintah. Sistem penyiaran berpihak kepada publik sebagai pemilik infrastruktur dan harus menjamin kemerdekaan masyarakat hanya sebagai bumbu mengisi siaran berita yang ingin disampaikan atau disiarkan pada masyarakat atau khalayak.
-Siti Umi Umaroh
Mahasiswa KPI 2008

Daftar Pustaka


Tidak ada komentar:

Posting Komentar